Friday, April 2, 2010

Kita Para Pembunuh Tuhan (Part 1)

Tidak ada motif perang yang paling mengerikan selain atas nama tuhan. barangkali agak berlebih-lebihan kalau mengatakan bahwa tuhan menjadi sebab segala bencana peperangan. Tetapi, keberlebihan itu menjadi tak bermakna apa-apa manakala Ada Tertinggi yang menjadi pusat aspirasi manusia pecinta damai di lapangan bisa menjadi sadis mengerikan, baik pada bilah-bilah kapak dan badik maupun ledakan senapan rakitan sampai bom. namun, keberlebih-lebihan tuduhan kepada tuhan itu bisa dikurangi jika dengan Tuhan kita memaksudkannya 'apa-apa yang dinilai paling kudus' bagi hasrat manusia.
Setiap orang memiliki 'sesuatu yang paling berharga, paling suci' yang deminya ia siap menjadi martir. Ada logika keras dari ens sanctissimus ini. Ia Sekaligus fascinosum (memikat) dan tremendum (membuat gemetar). Manakala Nietzsche berbicara tentang 'tuhan - tuhan' dalam sains, ideologi, dan kepercayaan apapun, aspek 'membuat gemetar' inilah yang menonjol. Sebuah penghendakan mati-matian atas kebenaran secara separo mengimplikasikan pembinasaan separo yang lain. Di tangan Penyambung Roh Revolusi Perancis, Robespierre, lepas dari kehendak pribadinya yang hanya menginginkan kebaikan, kemurnian doktrin revolusi membuat ia mau tak mau mengelundungkan 60-80 kepala per hari saat ia memerintah. Kehendak matia-matian akan kebenaran memang mematikan. Di Indonesia, kebenaran ideologis yang dikehendaki secara absolut oleh Orde Baru memakan korban ratusan ribu.
Kebenaran saintifik - yang dimata para penganutnya adalah satu-satunya kebenaran - menutupi wajah wajah seram yang lain : menghalalkan segala benar, dan dipercaya dengan segala devosi, akan meniadakan semua pertimbangan akal sehat kenyataan. Kenyataan ditundukkan dan diperkosa demi berkuasanya kebenaran ilmiah. Tanpa rasa bersalah sedikitpun bahkan kebenaran ilmiah itu akan mengatakan ' ini semua demi kebaikan kenyataan itu sendiri'.
Kata TUHAN memang menunjuk pada Tuhan kita, Ada Tertinggi yang kita junjung dan kita jadikan pusat hidup. Bagi Nietzsce, Tuhan tersebut tentu saja langsung menunjuk pada Tuhan Kristiani yang agamanya ia kritik habis-habisan. Tetapi lebih dari itu kata TUHAN juga sangat luas merujuk pada apa saja yang diTUHANkan oleh manusia. 'Manusia adalah binatang pemuja', kata Nietsche. Jika pujaan dalam bentuk tuhan mati, tak kehilangan akal, manusia akan mencari pujaan-pujaan lainnya termasuk dirinya sendiri. Manusia BUTUH pujaan, butuh sesuatu diluar dirinya untuk dijadikan PEGANGAN. Krisis terbesar zaman Nietsche yang ia sebut dekadensi adalah KEBUTUHAN BESAR AKAN PEGANGAN tersebut. Jika pegangan dalam bentuk tuhan mati, tak pelak lagi pegangan dalam bentuk lain akan bermunculan ; sains, ideologi, kepercayaan aneh-aneh, bahkan Atheisme. 'Ada kepercayaan baru saat ini yang namanya KETIDAKPERCAYAAN', ungkap Nietsche. Ya, manusia adalah binatang pemuja, kalau tuhan pujaannya mati, kalau tidak ada pegangan lain yang cukup mantap baginya, bisa saja ia mengimani ketiadaan tuhan dengan sepenuh hati. Tuhan tidak ada; demikian CREDO imannya. Jika ada orang yang membantah, ia akan mempertahankan kepercayaan tersebut karena manusia tidak bisa hidup tanpa pegangan. Dan sudah lazim bahwa ia akan merasionalkan dan mempertahankan tempat ia berpijak tersebut.....(bersambung)

Keragu-raguanku

Jika Tuhan benar maha kuasa dan maha pengasih, mengapa ada begitu banyak kejahatan di dunia ini??

Tanpa mengabaikan kontradiksi serius karena Tuhan Maha Baik yang mengizinkan adanya penyakit mematikan, bencana alam, cacat lahir, dan kejahatan keji yang membawa penderitaan dalam hidup. Aku berfikir Apakah dunia tanpa kejahatan adalah dunia yang paling baik untuk kita. Apakah hidup tanpa penderitaan akan menjadi hidup yang paling berarti? Apakah kehendak bebas akan tetap ada jika kita hanya memilih yang baik saja?